Jumat, 06 Mei 2011

Jalan - Jalan ke Kampung Jawi Wetan

 

Mungkin pembaca sudah tak asing lagi dengan kata Jawi Wetan, bukan? Ya, kapan waktu kami dari Tim Singgah Lumajang (TSL) jalan-jalan ke kampung yang identik dengan umat Nasrani ini. Sesuai dengan namanya, Jawi Wetan, letak kampung ini berada di Lumajang bagian Timur yakni kecamatan Yosowilangun. Letaknya persis paling ujung timur yang berbatasan langsung dengan kabupaten Jember.

Kampung Jawi Wetan ini bernama desa Tunjungrejo. Sebelah timur berbatasan langsung dengan Yosowilangun Kidul dan Paseban, sebelah selatan Wotgalih, sebelah barat Yosowilangun Lor dan sebelah utara Yosowilangun Kidul. Kampung ini dulu bernama Pedukuhan Tunjung Putih, kemudian sejak tahun 1897 berubah menjadi desa Tunjung Putih dan hingga perkembangan waktu berubah lagi menjadi Tunjung Rejo yang bermakna desa bunga Tunjung yang ramai.

Gapura desa Tunjung Rejo
Awal perkembangan kampung Jawi Wetan ini tak lepas dari peran tokoh Nasrani saat itu, yakni Raden Seto Brontodiwiryo yang diyakini sebagai sesepuh tunggal pendiri Tunjung Rejo. Beliau seorang perantau asal Mojorejo, Mojokerto yang membabat rawa-rawa di salah satu wilayah Yosowilangun tersebut menjadi perkampungan. Hingga saat ini, perkembangan desa tersebut cukup pesat yang ditandai dengan penerus generasi yang sudah 4 zaman.

Tak hanya mengenal sejarah kampung tersebut, kami juga sempat jalan-jalan mencari rumah-rumah kuno yang ada di sana. Namun, rekomendasi yang kami dapat belum menemukan rumah yang dimaksud. Tapi tak mengapa karena saat itu juga kami menemukan rumah kuno yang kami anggap cukup mewakili sejarah Tunjung Rejo. Sekedar info, keunikan kampung Jawi Wetan ini selain dihuni oleh mayoritas umat Nasrani, juga terdapat rumah-rumah kuno yang dimiliki oleh warga sekitar meski sebagian sudah tak terawat dan beralih karakter bangunan. Dari penelusuan kami, rumah-rumah kuno yang masih ada memang berkarakter unik, yakni letak rumah berada di tengah halaman/ tegalan. Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pemilik rumah memantau kebun mereka. Maka tak heran jika gapura dan pagarnya agak jauh dari bangunan rumah.
Salah satu rumah kuno yang kami temukan
Yang unik lagi, setiap rumah mempunyai gapura yang sama namun mempunyai karakter sendiri-sendiri yang ditandai dengan nama pemilik rumah pada setiap gapuranya. Bahkan di desa ini kita dapat menjumpai simpangan jalan yang selalu berbentuk salip atau lebih jelasnya persegi. Jadi jangan harap menemukan jalan yang menikung atau melingkar. Ternyata, hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan karakter bahwa Kampung Jawi Wetan ini benar-benar dihuni oleh mayoritas umat Nasrani.

Karakter jalan yang berbentuk garis persegi
Cuaca yang saat itu panas menyengat sempat membuat kami harus berteduh sebentar sebelum melanjutkan jalan-jalan. Setelah beristirahat, kami melanjutkan ke salah satu bangunan sejarah yang ada di desa tersebut, yakni SD Sending. Awalnya kami ragu akan masuk, karena masih dalam aktifitas sekolah, takut mengganggu KBM setempat. Namun, kami bertekad harus masuk karena kami penasaran dengan bangunan kuno yang katanya selama berpuluh-puluh tahun gedek-nya (tembok dari anyaman bambu) masih utuh.

SD Sending, bangunan kuno sejak 1910
Gereja utama di Kampung Jawi Wetan
Saat kami masuk, sempat tidak diperbolehkan karena harus ijin dulu ke wali gereja yakni pendeta atau yang punya wewenang. Akhirnya, kami mengikuti prosedur tersebut dan kami pun diperbolehkan dengan pelayanan yang ramah. Dan sesuai dengan info awal yang kami dapatkan, gedek tersebut memang masih utuh bahkan bangunannya tak ada yang diubah, mulai dari jendela, kaca, teralis, kerangka kayu dan pintunya masih kuno. Semuanya masih terlihat terawat dengan baik sejak didirikannya pada tahun 1910.

Makam Raden Seto Brontodiwiryo dan istri
Setelah kami mengamati bangunan tersebut, kami menyempatkan jalan-jalan melihat bangunan lain. Dan sekitar pukul 11.00 wib, kami harus mengakhiri perjalanan tersebut dan berpamitan kepada tuan rumah. Namun, bukan berarti kami langsung pulang, malah masih ada satu yang membuat kami penasaran yakni makam sesepuh desa Tunjung Rejo. Ya, makam Raden Seto Brontodiwiryo. Dalam cuaca panas-panas pun kami rela untuk mencari tahu letak makam tersebut. Namun apes, kami tak menemukan makam yang dimaksud padahal sudah keliling area pemakaman. Akhirnya, ada seseorang yang saat itu sedang menggali kubur menunjukkan makam yang kami cari. Dan ternyata makamnya tak jauh dari kami parkir. Ampun, susah juga cari makam kuno ini, harus keliling makam dulu baru ketemu. Hehehehe…

2 komentar:

  1. crita tentang tunjungrejo kurang detail,tetapi dah mewakili beberapa cerita tentang tunjungrejo.desa tempat kelahiran saya. mas GOB kelahiran tunjungrejo menetap di jogja

    BalasHapus
  2. @anonim: memang kurang detail karena kami kekurangan narasumber.thx

    BalasHapus

Silakan komentar...gratis kok! Hehehehe...